Monday, July 6, 2009

Note Pak Suko di FB

Jawa Pos Selasa 21 April 2009

Pilih Mana: Koalisi atau Isi Kuali?
Oleh : Suko Widodo *

Sekalipun hasil penghitungan suara pemilihan legislatif belum usai, gairah parpol untuk menghadapi pemilihan presiden tak terbendung. Ini setidaknya tecermin dari upaya parpol dan sejumlah elite politik untuk membangun koalisi atau persekutuan kekuatan polititk.

Pileg seakan dianggap sudah selesai. Wacana koalisi terasa lebih mengedepan ketimbang menyoal pelanggaran pileg lalu. Merebut kekuasaan seolah lebih penting daripada usaha memenuhi janji yang pernah ditaburkan tatkala kampanye.

Inikah cermin politik Indonesia? Demi kekuasaan, perseteruan menjadi persahabatan, dan sebaliknya, persahabatan menjadi permusuhan. Yang tidak mungkin menjadi mungkin, yang mungkin bisa menjadi tidak mungkin. Maka, benarlah adagium politik: tak ada lawan yang abadi, yang ada hanya kepentingan yang abadi.

Manuver-manuver sejumlah elite politik berkait dengan koalisi memperlihatkan sikap "nggege-mangsa" atau sikap keberlebihan harapan terhadap kekuasaan. Hasil pileg belum tuntas, sudah memikirkan peluang kekuasaan lainnya. Dan rakyat selaku pemberi mandat seakan-akan tidak dihiraukan. Tetap saja, rakyat tidak mendapat apa-apa. Demokrasi akhirnya tidak lebih dari "mainan" para penguasa politik.

Koalisi Berbasis Individu
Koalisi yang dikembangkan parpol saat ini ditujukan untuk menghadapi pemilihan presiden pada 8 Juli nanti. Dengan adanya persekutuan kekuatan politik tersebut, para elite politik berharap bisa berbagi kue kekuasaan dalam pemerintahan jika kandidat yang dijagokan memenangkan pilpres.

Tindakan berkoalisi itu dilakukan karena memang pileg lalu belum menghasilkan sebuah parpol yang menang secara mayoritas. Padahal, untuk mengikutkan kandidatnya dalam pilpres, menurut undang-undangnya, sebuah parpol harus meraih 25 persen suara atau 20 persen kursi di parlemen.

Koalisi memang merupakan sesuatu yang lumrah dalam dunia politik. Koalisi dibutuhkan untuk membentuk pemerintahan atau kabinet dari partai yang memiliki suara di parlemen. Secara umum ada dua jenis koalisi; yaitu koalisi yang didasarkan pada keinginan mencapai tujuan yang hendak dicapai (policy-based coalitions) dan koalisi yang tidak didasarkan atas pertimbangan kebijakan (policy blind coalitions).

Koalisi yang pertama menekankan kesamaan dalam orientasi kebijakan. Koalisi model ini bertujuan mewujudkan kebijakan sesuai kepentingan partai. Koalisi semacam ini memiliki loyalitas tinggi karena diikat oleh kesamaan tujuan kebijakan. Sedangkan koalisi kedua, yang tidak didasarkan pada pertimbangakn kebijakan, lebih menekankan prinsip ukuran/perolehan suara. Orientasi tujuannya memaksimalkan kekuasaan. Bentuk koalisi semacam ini tidak terlampau menjamin loyalitas anggota parpol yang bergabung.

Saat ini, di Jakarta -sebagai pusat kekuasaan politik- elite sibuk mengembangkan blok koalisi. Ada dua blok yang populer, blok M (kelompok Megawati) dan blok S (Susilo Bambang Yudhoyono). Dari manuver komunikasi politik yang mengemuka, proses bangunan koalisi masih belum final. Sekalipun demikian, sudah mulai tampak bahwa koalisi mengarah kepada dominasi person atau individu dan bukan orientasi partai.

Terlihat dari komunikasi politik yang berlangsung bahwa demi merebut kekuasaan, orientasi atau platform partai pun diabaikan. Yang penting menang dan menang, serta meraih kekuasaan.

Koalisi versus Isi Kuali
Terasa ironis, tatkala rakyat masih berkutat menunggu janji para politisi untuk mengisi "kuali" (kebutuhan makan), sementara para elite malah bersibuk memikirkan kekuasaan.
Saat ini, rakyat butuh pekerjaan. Meningkatnya PHK bisa menggambarkan betapa sulitnya kondisi kehidupan rakyat. Mereka butuh makan dan butuh masa depan. Mereka sama sekali tidak butuh kekuasaan. Tetapi, jika kemudian parpol beserta elitenya sibuk berebut kekuasaan, maka ini benar-benar sikap yang tidak berteladan.

Tradisi politik memang berkutat pada kekuasaan. Tetapi, bukankah lebih baik manakala para elite politik memberikan apresiasi terhadap kesediaan rakyat yang baru saja memilih. Lebih dari itu, akan lebih baik pula manakala elite politik memikirkan dan merumuskan kebijakan yang bakal dilakukan untuk mengisi "kuali" dan mengisi kebutuhan hidup rakyat.

Janganlah rakyat dibutuhkan di saat pemilihan. Ketika kampanye, begitu banyak taburan janji dari politisi. Tetapi ketika pemilihan sudah selesai, rakyat dianggap sesuatu yang tidak penting.
Pilpres memang penting. Dan itu wajib dirumuskan para elite polititk. Tetapi, jangan kemudian pilpres dianggap segala-galanya, kemudian mengabaikan problem yang dihadapi rakyat. Jika parpol dan politisi mengabaikan suara dan harapan rakyat, jangan kaget jika nanti rakyat juga akan mengabaikan mereka.

*. Suko Widodo, dosen Program Studi Ilmu Komunikasi, FISIP, Universitas Airlangga

0 comments:

Post a Comment