Tuesday, July 7, 2009

Pak Basuki telah tiada

Almarhum pak Basuki telah pulang ke rahmatulloh di Lampung pada hari Ahad Kliwon tanggal 14 Juni 2009. Almarhum adalah putera ke-4 Mbah Soedjarwo. Semoga amal ibadahnya diterima oleh Alloh SWT dan diampuni segala dosanya. Dan yang penting semoga yang ditinggalkan diberi ketabahan dan kesabaran. Amin ya robbal'alamin.

baca semua...

Monday, July 6, 2009

Note Pak Suko di FB

Jawa Pos Selasa 21 April 2009

Pilih Mana: Koalisi atau Isi Kuali?
Oleh : Suko Widodo *

Sekalipun hasil penghitungan suara pemilihan legislatif belum usai, gairah parpol untuk menghadapi pemilihan presiden tak terbendung. Ini setidaknya tecermin dari upaya parpol dan sejumlah elite politik untuk membangun koalisi atau persekutuan kekuatan polititk.

Pileg seakan dianggap sudah selesai. Wacana koalisi terasa lebih mengedepan ketimbang menyoal pelanggaran pileg lalu. Merebut kekuasaan seolah lebih penting daripada usaha memenuhi janji yang pernah ditaburkan tatkala kampanye.

Inikah cermin politik Indonesia? Demi kekuasaan, perseteruan menjadi persahabatan, dan sebaliknya, persahabatan menjadi permusuhan. Yang tidak mungkin menjadi mungkin, yang mungkin bisa menjadi tidak mungkin. Maka, benarlah adagium politik: tak ada lawan yang abadi, yang ada hanya kepentingan yang abadi.

Manuver-manuver sejumlah elite politik berkait dengan koalisi memperlihatkan sikap "nggege-mangsa" atau sikap keberlebihan harapan terhadap kekuasaan. Hasil pileg belum tuntas, sudah memikirkan peluang kekuasaan lainnya. Dan rakyat selaku pemberi mandat seakan-akan tidak dihiraukan. Tetap saja, rakyat tidak mendapat apa-apa. Demokrasi akhirnya tidak lebih dari "mainan" para penguasa politik.

Koalisi Berbasis Individu
Koalisi yang dikembangkan parpol saat ini ditujukan untuk menghadapi pemilihan presiden pada 8 Juli nanti. Dengan adanya persekutuan kekuatan politik tersebut, para elite politik berharap bisa berbagi kue kekuasaan dalam pemerintahan jika kandidat yang dijagokan memenangkan pilpres.

Tindakan berkoalisi itu dilakukan karena memang pileg lalu belum menghasilkan sebuah parpol yang menang secara mayoritas. Padahal, untuk mengikutkan kandidatnya dalam pilpres, menurut undang-undangnya, sebuah parpol harus meraih 25 persen suara atau 20 persen kursi di parlemen.

Koalisi memang merupakan sesuatu yang lumrah dalam dunia politik. Koalisi dibutuhkan untuk membentuk pemerintahan atau kabinet dari partai yang memiliki suara di parlemen. Secara umum ada dua jenis koalisi; yaitu koalisi yang didasarkan pada keinginan mencapai tujuan yang hendak dicapai (policy-based coalitions) dan koalisi yang tidak didasarkan atas pertimbangan kebijakan (policy blind coalitions).

Koalisi yang pertama menekankan kesamaan dalam orientasi kebijakan. Koalisi model ini bertujuan mewujudkan kebijakan sesuai kepentingan partai. Koalisi semacam ini memiliki loyalitas tinggi karena diikat oleh kesamaan tujuan kebijakan. Sedangkan koalisi kedua, yang tidak didasarkan pada pertimbangakn kebijakan, lebih menekankan prinsip ukuran/perolehan suara. Orientasi tujuannya memaksimalkan kekuasaan. Bentuk koalisi semacam ini tidak terlampau menjamin loyalitas anggota parpol yang bergabung.

Saat ini, di Jakarta -sebagai pusat kekuasaan politik- elite sibuk mengembangkan blok koalisi. Ada dua blok yang populer, blok M (kelompok Megawati) dan blok S (Susilo Bambang Yudhoyono). Dari manuver komunikasi politik yang mengemuka, proses bangunan koalisi masih belum final. Sekalipun demikian, sudah mulai tampak bahwa koalisi mengarah kepada dominasi person atau individu dan bukan orientasi partai.

Terlihat dari komunikasi politik yang berlangsung bahwa demi merebut kekuasaan, orientasi atau platform partai pun diabaikan. Yang penting menang dan menang, serta meraih kekuasaan.

Koalisi versus Isi Kuali
Terasa ironis, tatkala rakyat masih berkutat menunggu janji para politisi untuk mengisi "kuali" (kebutuhan makan), sementara para elite malah bersibuk memikirkan kekuasaan.
Saat ini, rakyat butuh pekerjaan. Meningkatnya PHK bisa menggambarkan betapa sulitnya kondisi kehidupan rakyat. Mereka butuh makan dan butuh masa depan. Mereka sama sekali tidak butuh kekuasaan. Tetapi, jika kemudian parpol beserta elitenya sibuk berebut kekuasaan, maka ini benar-benar sikap yang tidak berteladan.

Tradisi politik memang berkutat pada kekuasaan. Tetapi, bukankah lebih baik manakala para elite politik memberikan apresiasi terhadap kesediaan rakyat yang baru saja memilih. Lebih dari itu, akan lebih baik pula manakala elite politik memikirkan dan merumuskan kebijakan yang bakal dilakukan untuk mengisi "kuali" dan mengisi kebutuhan hidup rakyat.

Janganlah rakyat dibutuhkan di saat pemilihan. Ketika kampanye, begitu banyak taburan janji dari politisi. Tetapi ketika pemilihan sudah selesai, rakyat dianggap sesuatu yang tidak penting.
Pilpres memang penting. Dan itu wajib dirumuskan para elite polititk. Tetapi, jangan kemudian pilpres dianggap segala-galanya, kemudian mengabaikan problem yang dihadapi rakyat. Jika parpol dan politisi mengabaikan suara dan harapan rakyat, jangan kaget jika nanti rakyat juga akan mengabaikan mereka.

*. Suko Widodo, dosen Program Studi Ilmu Komunikasi, FISIP, Universitas Airlangga

baca semua...

Sunday, July 5, 2009

Note Pak Suko di FB

Jawa Pos: Rabu, 08 April 2009
Menunggu Hasil Para Penjual Baliho
Suko Widodo

VOX populi vox dei, suara rakyat adalah suara Tuhan. Suara itulah yang kini amat dinanti-nantikan kehadirannya oleh para calon legislatif. Dalam penantian yang serba tak pasti, kemungkinan besar para caleg berada dalam keadaan resah dan gelisah.

Sistem pemilihan kali ini memang membuat pusing para caleg. Dengan sistem suara terbanyak, kini semua caleg memiliki peluang yang sama untuk merebut kursi. Sebelum putusan Mahkamah Konstitusi dengan pola suara terbanyak, caleg dengan nomor urut atas/kecil berpeluang besar dipilih. Tapi, kini mereka tidak bisa melenggang dengan mudah. Sementara itu, untuk yang bernomor urut besar alias nomor sepatu, keputusan tersebut membuat mereka mendapatkan angin surga karena punya peluang sama dengan nomor urut atas/kecil.

Bagi pemilih, pemilihan kali ini terasa rumit dan sulit. Rumit karena jumlah caleg yang dipilih sangat banyak. Sulit karena pemilih harus memiliki kemampuan literasi (baca tulis). Yang tak biasa membaca dan menulis berpotensi besar untuk keliru dalam mencontreng.

Akibat kondisi demikian, hasil pemilihan kali ini memang sulit diduga. Setidaknya, itu sudah terbukti. Antarlembaga survei juga punya persepsi yang beda-beda dalam menakar kekuatan suara.

Komunikasi Politik Instan
Kemampuan literasi pemilih berandil besar dalam menentukan hasil pemilihan. Pengalaman dalam sejumlah simulasi membuktikan, kebanyakan pemilih masih bingung dan keliru memilih. Itu yang membuat pusing caleg.

Framing pesan yang dibangun selama masa kampanye para caleg, ternyata, tak cukup kuat menancapkan pengetahuan cara mencontreng/memilih. Padahal, para caleg bukan hanya sudah mengampanyekan cara mencontreng, tetapi juga membangun relasi langsung dengan pemilih. Jika kemudian pada hari pemilihan para pemilih masih kebingungan dan tak yakin, memang hasil pemilihan itu seperti sebuah misteri yang susah diprediksi.

Ada dua hal yang mengakibatkan terjadi kondisi itu. Pertama, telah terjadi luberan komunikasi (over-communication). Sepanjang 10 bulan terakhir, masyarakat digempur dengan ratusan ribu pesan politik. Mulai bangun tidur hingga menjelang tidur lagi, seluruh pancaindra disentuh oleh pesan polititik.

Media massa hingga media personal (seperti ponsel) dipenuhi dengan ajakan mendukung caleg. Saking melubernya pesan, pemilih bingung. Apalagi pesan yang berkembang relatif seragam/sama. Sementara itu, pemilih bersifat mudah lupa (cognitive misser). Mestinya, kreativitas pesan kampanye harus benar-benar memiliki pembeda daripada yang lainnya jika ingin dikenang pemilih. Jika tidak kreatif, akan terjadi peluang distorsi informasi. Apa yang sudah dipesankan caleg menjadi tidak sesuai dengan yang pemilih lakukan di bilik suara.

Kedua, para caleg dan parpol mengembangkan komunikasi politik relatif instan. Mereka melakukan pendekatan kepada konstituen hanya saat-saat menjelang pemilihan dilakukan. Jadi, yang dilakukannya bukan komunikasi politik (karena kalau komunikasi politik berlangsung dua arah), tetapi lebih banyak melakukan marketing polititk (yang sifatnya searah).

Komunikasi politik sebagai modal sosial untuk membangun relasi tidak bisa dilakukan sesaat (instan). Padahal, kekuatan relasi itulah yang bisa menentukan perolehan suara.

Pileg kali ini hendaknya menjadi pelajaran berharga bagi para parpol dan politisi ataupun mereka yang hendak membangun kekuasaan politik. Sistem politik modern harus ditata dengan cara-cara yang rasional dan realistis. Kita tidak bisa hanya mengandalkan pemasangan baliho belaka, apalagi mengandalkan jasa paranormal.

Bukan Ndaru
Kekuasaan politik modern adalah sebuah prestasi usaha. Kekuasaan bukanlah seperti ”ndaru” (hadiah) yang jatuh dari langit. Kekuasaan politik modern juga bukanlah sebuah warisan. Ia harus disiapkan dan ditata dalam waktu yang tidak pendek.

Dalam zaman demokrasi yang belum utuh ini, ada sejumlah persoalan besar untuk meraih ‘’suara Tuhan”. Ketika para pemilih yang punya kuasa suara itu masih memandang suaranya sebagai komoditas uang atau sembako, makna politik menjadi terdegragasi. Politik menjadi kurang bermartabat. Demokrasi terkesan tidak berkualitas.

Pekerjaan besar yang tersisa dari berbagai proses pemilihan selama ini memerlukan penataan sungguh-sungguh. Bukan hanya urusan parpol, tetapi semua pihak. Sejumlah politik pragmatis yang selama ini dijalankan oleh beberapa pihak wajib dihapuskan. Sebab, itu tak akan pernah bermanfaat manakala pemilihan dilakukan dengan cara-cara tidak sehat.

Ke depan, advokasi politik bersih harus terus dikumandangkan agar Indonesia bisa menjalankan demokrasi yang bermartabat. Semoga Pileg 2009 berlangsung dengan damai. Sebab, memang hasil suara itu adalah suara yang telah ditentukan Tuhan. Janganlah resah dan gelisah. Selamat berpasrah.

Suko Widodo, dosen Program Studi Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Airlangga
Sumber: Jawa Pos: Rabu, 08 April 2009

baca semua...